
JAKARTA - Pemerintah Indonesia terus memacu transisi menuju energi baru dan terbarukan melalui program biofuel nasional yang ambisius. Target besar telah ditetapkan: penerapan biodiesel 50% (B50) dan bensin campur etanol 10% (E10) mulai tahun 2026.
Namun, di balik optimisme tersebut, sederet tantangan teknis dan pasokan bahan baku masih membayangi implementasinya.
Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa kemandirian energi merupakan prioritas utama pemerintahannya. Dalam pidato pelantikannya, ia menyebut Indonesia memiliki modal besar untuk mewujudkan swasembada energi berkat kekayaan sumber daya alam.
Baca Juga
“Kita harus swasembada energi dan kita mampu, karena kita diberi karunia tanaman-tanaman seperti kelapa sawit, singkong, tebu, sagu, dan jagung yang bisa jadi sumber bahan bakar,” ujar Prabowo, dikutip dari laman Kementerian ESDM.
Biodiesel B50, Langkah Menuju Swasembada Solar Nasional
Salah satu tonggak utama kebijakan biofuel adalah penerapan biodiesel B50, di mana 50% bahan bakar solar berasal dari minyak nabati berbasis sawit. Pemerintah menargetkan mandatori B50 mulai berlaku pada semester II/2026.
Implementasi kebijakan ini diyakini mampu menghapus ketergantungan impor solar Indonesia, yang mencapai 4,9 juta kiloliter (kl) pada 2025. Berdasarkan data Kementerian ESDM, penggunaan biodiesel sejak 2020 telah menghemat devisa hingga US$40,71 miliar.
Dengan B50, tambahan penghematan devisa diproyeksikan mencapai US$10,84 miliar hanya dalam satu tahun penerapannya. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia memastikan uji jalan (road test) B50 kini memasuki tahap akhir dan ditargetkan rampung dalam enam hingga delapan bulan mendatang.
“Kalau semua sudah clear dan sudah keputusan untuk kita pakai B50, maka insyaallah tidak lagi kita melakukan impor solar mulai semester II/2026,” kata Bahlil di Jakarta.
Pemerintah Siapkan Penerapan E10 untuk Bensin Nasional
Selain biodiesel, pemerintah juga bersiap menerapkan bensin campur etanol 10% (E10) sebagai bagian dari strategi diversifikasi energi.
Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas), mengatakan bahwa Presiden Prabowo telah memberi arahan agar penggunaan E10 diwajibkan setelah kesiapan infrastruktur dan bahan baku terpenuhi.
“Wajib [bensin menggunakan 10% etanol]. Tapi kalau kita sudah siap ya, perintah Bapak Presiden begitu,” kata Zulhas saat konferensi pers di Trade Expo Indonesia (TEI) ke-40, Banten.
Menurutnya, kebijakan E10 akan berdampak positif terhadap sektor pertanian. Permintaan bahan baku seperti singkong, tebu, dan jagung akan meningkat signifikan, mendorong nilai ekonomi baru di daerah.
“Bensin akan menggunakan 10% etanol atau metanol. Jadi di mana pun tanam singkong laku, dan harga bisa sampai Rp2.000 per kilo,” ujarnya.
Zulhas menambahkan, pemerintah akan memperluas lahan tanam singkong dan tebu untuk memenuhi kebutuhan industri bioetanol. “Di seluruh Indonesia tidak boleh ada tanah yang nganggur. Semua akan bernilai ekonomi. Di situlah pemberdayaan masyarakat kita akan tumbuh,” ucapnya.
Sementara itu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia memastikan bahwa penerapan E10 belum akan dilakukan tahun depan, karena masih membutuhkan waktu untuk memperkuat pasokan bahan baku dan kapasitas produksi.
“Bapak Presiden sudah menyetujui untuk direncanakan mandatori 10% etanol. Tapi implementasi penuh masih perlu dipersiapkan,” ujar Bahlil.
Bahan Baku Jadi Tantangan Utama Transisi Biofuel
Meski rencana ambisius telah digulirkan, tantangan besar justru datang dari sisi bahan baku dan kapasitas produksi.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, menegaskan bahwa penerapan B50 membutuhkan lonjakan besar dalam produksi fatty acid methyl ester (FAME) — bahan dasar biodiesel.
Untuk memenuhi kebutuhan nasional, kapasitas produksi FAME harus meningkat dari 15,6 juta kl pada 2025 menjadi 20,1 juta kl pada 2026. “Kalau B50 kita mulai 2026, maka kebutuhan FAME-nya sekitar 20 juta ton.
Itu berarti tambahan alokasi CPO ke biodiesel sekitar 2 juta ton,” ujar Eniya dalam seminar Peluang dan Tantangan Industri Bioenergi di Jakarta.
Ia menambahkan, pemerintah perlu menambah setidaknya lima pabrik biodiesel baru agar target B50 bisa tercapai. “Tiga dari lima pabrik sedang dibangun, tapi kita masih butuh tambahan dua lagi, terutama di wilayah timur Indonesia,” jelasnya.
Masalah serupa juga muncul dalam penyediaan bahan baku bioetanol. Untuk memenuhi kebutuhan E10, produksi etanol dari tebu harus ditingkatkan secara signifikan.
Upaya Pemerintah Menjamin Pasokan Bioetanol Nasional
Sebagai bagian dari upaya memperkuat pasokan bahan baku bioetanol, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel).
Kebijakan ini mencakup rencana peningkatan produksi bioetanol dari tebu hingga 1,2 juta kiloliter, sekaligus menjamin ketersediaan gula konsumsi dan industri.
Kementerian Koordinator Bidang Investasi dan Perekonomian (Kemenko IPK) menyebut bahwa kebijakan ini akan menjadi fondasi penting dalam mendorong swasembada energi berbasis biofuel.
Dengan peta jalan yang disusun, pemerintah berharap Indonesia bisa mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan bakar fosil sekaligus memperkuat ketahanan energi nasional.
Kunci Keberhasilan: Sinergi, Investasi, dan Infrastruktur
Keberhasilan penerapan B50 dan E10 tidak hanya bergantung pada kesiapan bahan baku, tetapi juga pada investasi dan infrastruktur industri bioenergi. Pemerintah perlu memastikan rantai pasok CPO dan etanol berjalan efisien, mulai dari hulu hingga hilir.
Selain itu, insentif fiskal dan dukungan pembiayaan juga diperlukan untuk menarik minat investor membangun pabrik biodiesel dan bioetanol di berbagai daerah.
“Kalau kita ingin swasembada energi seperti kata Presiden, maka kita harus siapkan industrinya, bukan hanya bahan bakunya,” ujar Eniya menegaskan.
Program mandatori biofuel menjadi langkah strategis menuju kemandirian energi nasional. Namun, ambisi besar itu tidak lepas dari tantangan teknis dan struktural yang harus diatasi. Dari kesiapan pabrik hingga ketersediaan bahan baku, semuanya memerlukan sinergi lintas sektor.
Jika seluruh elemen pemerintah dan industri mampu bergerak seirama, Indonesia berpotensi menjadi salah satu negara dengan sistem energi terbarukan paling maju di kawasan.
Seperti pesan Presiden Prabowo, swasembada energi bukan hanya cita-cita, tetapi keharusan demi masa depan bangsa yang mandiri dan berdaulat secara ekonomi.

Muhammad Anan Ardiyan
indikatorbisnis.com adalah media online yang menyajikan berita sektor bisnis dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Psikolog Ingatkan Proses Berduka Kehilangan Orangtua Tidak Bisa Terburu-buru
- Kamis, 16 Oktober 2025
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
Cara Mudah Buat Stiker WhatsApp di Android dan iPhone
- 16 Oktober 2025
2.
BYD Atto 1 Resmi Masuk Indonesia, Siap Kirim Oktober 2025
- 16 Oktober 2025
3.
8 Makanan yang Mempercepat Gigi Keropos dan Berlubang
- 16 Oktober 2025
4.
TVS Apache RTX 300 Hadir Lengkapi Segmen Motor Adventure
- 16 Oktober 2025