JAKARTA - Meski pertumbuhan investasi di Indonesia terus menunjukkan tren positif, hal tersebut belum sepenuhnya berbanding lurus dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai masih banyak sektor padat karya yang mengalami pelemahan, khususnya tekstil, furnitur, hingga otomotif.
Kondisi ini dinilai perlu segera ditangani dengan kebijakan insentif yang lebih luas dan tepat sasaran agar sektor-sektor padat karya tidak semakin terpuruk.
Tekstil Masih Tertekan, Industri Furnitur dan Otomotif Ikut Lesu
Ketua Umum Apindo, Shinta Widjaja Kamdani, menyoroti situasi sektor padat karya yang belum pulih. Menurutnya, industri tekstil menjadi salah satu yang paling terdampak.
“Hingga saat ini, sektor padat karya khususnya tekstil masih mengalami pelemahan hingga 20%. Dari beberapa sektor, salah satu yang masih terkena hit adalah sektor padat karya. Kita harus spesifik tekstil garmen ini satu sektor yang terkena dampak. Jadi, keadaan tekstil mereka masih mengalami penurunan 20%,” ujarnya dalam sebuah keterangan di Jakarta.
Shinta juga mengungkapkan bahwa pelemahan serupa terjadi pada sektor furnitur. Industri ini menghadapi penurunan bisnis sekitar 20%. Tidak berhenti di situ, sektor otomotif juga ikut melemah meski lebih ringan, yakni sekitar 9% sepanjang tahun berjalan.
Sementara itu, sektor properti justru menunjukkan angka pelemahan yang lebih drastis. “Sektor properti demand-nya juga masih agak lemah, mereka (pengusaha) bilang bahkan sampai 50% pelemahannya. Jadi kalau kita lihat di sini penting bagi pemerintah untuk bisa lihat ini,” tambah Shinta.
Investasi Naik, Serapan Kerja Justru Melambat
Meski data menunjukkan pertumbuhan investasi yang lebih tinggi dibandingkan produk domestik bruto (PDB) pada kuartal II/2025, nyatanya penyerapan tenaga kerja justru melambat. Hal ini menjadi perhatian serius Apindo karena salah satu tujuan utama investasi adalah menciptakan lapangan kerja.
Ajib Hamdani, analis Kebijakan Ekonomi Apindo, menilai tren ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan arah investasi. Menurutnya, sebagian besar dana investasi dalam beberapa tahun terakhir lebih banyak mengalir ke sektor padat modal ketimbang padat karya. Akibatnya, efek berganda terhadap penciptaan lapangan kerja tidak terasa optimal.
“Investasi beberapa tahun terakhir cenderung lebih banyak masuk ke sektor padat modal daripada padat karya sehingga efek penggandanya terhadap penciptaan lapangan kerja tidak terlalu terasa,” jelas Ajib.
Dengan demikian, meski pertumbuhan investasi memberikan kontribusi besar terhadap PDB, manfaat langsung bagi masyarakat dalam bentuk lapangan kerja masih jauh dari maksimal.
Perluasan Insentif untuk Sektor Padat Karya
Untuk mengatasi masalah ini, Ajib mendorong pemerintah memperluas cakupan insentif bagi sektor padat karya. Ia menekankan bahwa kebijakan insentif sebaiknya tidak terbatas pada sektor tertentu, melainkan meliputi berbagai bidang yang menyerap tenaga kerja besar.
“Pemerintah bisa lebih mendorong dengan memberikan insentif terhadap sektor-sektor yang padat karya, termasuk manufaktur, pertanian, konstruksi, perikanan dan jasa,” kata Ajib.
Lebih lanjut, ia menilai pemberian insentif sebaiknya tidak hanya terbatas pada aspek fiskal, melainkan juga moneter. Dengan demikian, dunia usaha bisa mendapatkan dukungan yang lebih menyeluruh dalam menghadapi tekanan ekonomi global maupun domestik.
“Bauran insentif fiskal dan moneter masih sangat dibutuhkan, misalnya pajak ditanggung pemerintah (DTP) dan juga tarif bunga khusus yang kompetitif,” tambahnya.
Dorongan Kebijakan untuk Lindungi Lapangan Kerja
Apindo menilai bahwa keberlanjutan sektor padat karya sangat penting bagi stabilitas ketenagakerjaan nasional. Industri tekstil, garmen, furnitur, dan sektor lainnya merupakan penyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Bila sektor-sektor ini terus mengalami pelemahan, maka angka pengangguran berpotensi meningkat.
Ajib menegaskan bahwa investasi tidak boleh semata-mata dipandang sebagai pencapaian makroekonomi. Lebih dari itu, investasi harus berkontribusi nyata terhadap penciptaan lapangan kerja. Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan kebijakan insentif benar-benar menyasar sektor-sektor yang berdampak langsung pada kesejahteraan pekerja.
“Investasi menjadi komponen yang semakin penting dalam pembentuk produk domestik bruto. Misalnya, pada kuartal II/2025 investasi tumbuh lebih tinggi daripada PDB. Namun, lapangan kerja malah mengalami pelambatan dalam serapannya,” ujarnya.
Kondisi ini, menurut Apindo, menegaskan perlunya strategi yang lebih berimbang. Pemerintah diharapkan tidak hanya mengejar pertumbuhan investasi, tetapi juga mengarahkan insentif agar investasi masuk ke sektor padat karya.
Situasi sektor padat karya yang masih lesu memperlihatkan bahwa pertumbuhan investasi belum cukup efektif dalam mendorong penyerapan tenaga kerja. Apindo menegaskan perlunya bauran insentif fiskal dan moneter agar industri padat karya bisa kembali pulih dan menyerap lebih banyak pekerja.
Dengan strategi yang tepat, insentif tidak hanya membantu menjaga keberlangsungan bisnis, tetapi juga menjadi jembatan untuk memastikan manfaat investasi dapat dirasakan lebih luas oleh masyarakat melalui penciptaan lapangan kerja yang lebih banyak.