JAKARTA - Pemerintah memastikan geliat investasi smelter alumina di Indonesia tidak akan membuat harga bauksit maupun produk turunannya jatuh.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan, kebutuhan dalam negeri terhadap produk turunan bauksit masih jauh lebih besar dibandingkan kapasitas industri saat ini, sehingga kekhawatiran oversupply tidak berdasar.
“Sekarang kita masih banyak impor untuk produk turunan dari bauksit, seperti aluminium. Jadi antara kebutuhan dalam negeri dan kapasitas industri, kebutuhannya masih lebih besar. Jadi tidak ada masalah,” jelas Bahlil di Jakarta.
Pernyataan ini menanggapi kekhawatiran para pengusaha lokal yang mengingatkan pemerintah agar tidak membangun terlalu banyak smelter alumina.
Kekhawatiran mereka mengacu pada kasus nikel, di mana jumlah smelter yang berlebihan sempat menekan harga komoditas sehingga beberapa fasilitas produksi berhenti beroperasi.
Fokus pada Hilirisasi Bauksit
Bahlil menegaskan, bauksit menjadi salah satu fokus utama pemerintah dalam mendorong agenda hilirisasi mineral dan batu bara (minerba) nasional. Sejak 2023, pemerintah telah melarang ekspor bahan mentah bauksit untuk mendorong tumbuhnya industri pengolahan dalam negeri.
“Bauksit ini salah satu komoditas yang akan kita dorong untuk hilirisasi. Sekarang ekspor bahan mentahnya sudah dilarang. Ini bagian dari upaya untuk meningkatkan investasi,” ujarnya.
Pemerintah menargetkan investasi di sektor hilirisasi minerba tahun ini mencapai US$7 miliar hingga US$8 miliar. Hingga Agustus 2025, realisasi investasi tercatat sudah mencapai sekitar US$3 miliar sampai US$4 miliar.
Menurut Bahlil, angka ini menunjukkan langkah nyata pemerintah dalam mendorong hilirisasi bauksit sekaligus memperkuat industri aluminium domestik.
Kekhawatiran Oversupply Alumina
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Bauksit Indonesia (ABI) Ronald Sulisyanto sempat menyinggung potensi oversupply jika smelter alumina dibangun terlalu banyak. Ia menekankan pentingnya belajar dari pengalaman nikel, di mana harga komoditas jatuh akibat kelebihan kapasitas pengolahan.
"[Investor] smelter diundang boleh, tapi juga jangan banyak-banyak, maksimum tujuh atau delapan, nanti kalau terlalu banyak kayak nikel. Nikel sudah sampai moratorium enggak boleh bikin lagi smelter, bahan bakunya enggak ada. Kalau di sini [bauksit] bahan bakunya melimpah, tapi penambangnya dibuat mati," ujar Ronald.
Kekhawatiran ini didasarkan pada dinamika pasar: jika kapasitas smelter melebihi kebutuhan riil, harga produk bisa tertekan. Namun, Bahlil meyakinkan bahwa kondisi bauksit berbeda dari nikel.
Saat ini, Indonesia masih mengimpor alumina dan aluminium untuk memenuhi kebutuhan industri domestik, sehingga kapasitas smelter baru justru diperlukan untuk mengurangi ketergantungan impor.
Alasan Investasi Smelter China di Indonesia
Selain itu, Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) Melati Sarnita menyoroti investasi perusahaan China yang mulai membangun smelter aluminium di Indonesia.
Menurut Melati, pembangunan smelter di Indonesia dilakukan karena regulasi China membatasi produksi aluminium maksimal 45 juta ton per tahun. Perusahaan China yang ingin memperluas kapasitas akhirnya memilih Indonesia sebagai lokasi baru.
“Di atas itu dia sudah tidak boleh membangun di China. Makanya banyak pemain-pemain China akhirnya membangun smelter di Indonesia untuk aluminium,” jelas Melati dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VI DPR RI.
Melati menambahkan, larangan ekspor bauksit mentah di Indonesia justru membuat negara ini menjadi lokasi strategis untuk alumina refinery, sehingga kebutuhan bauksit domestik meningkat signifikan.
“Jadi di alumina refinery sekarang kita lihat peningkatan pemakaian bauksitnya cukup tinggi,” tuturnya.
Dampak Positif Hilirisasi
Dengan pembangunan smelter alumina yang terkendali, pemerintah menargetkan nilai tambah industri dalam negeri meningkat, menyerap tenaga kerja, dan menurunkan ketergantungan impor aluminium.
Hilirisasi ini juga diharapkan mendorong investasi baru dan menumbuhkan ekosistem industri terkait, termasuk logistik, energi, dan bahan baku.
Bahlil menekankan bahwa pemerintah akan terus memantau perkembangan industri ini agar pertumbuhan smelter tetap sejalan dengan kebutuhan pasar. Dengan begitu, harga bauksit maupun alumina dapat stabil dan industri hilirisasi berjalan optimal.
Secara keseluruhan, langkah pemerintah mendorong hilirisasi bauksit menunjukkan komitmen mendorong kemandirian industri mineral, mengurangi impor, dan menciptakan nilai tambah domestik, sambil menjaga keseimbangan antara jumlah smelter dan kebutuhan pasar.