Rupiah Menguat Tipis, Sentimen Positif Global Dorong Keyakinan Investor
- Senin, 20 Oktober 2025

JAKARTA - Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada awal pekan ini menunjukkan penguatan terbatas.
Meskipun tidak signifikan, penguatan ini tetap memberi sinyal positif di tengah kekhawatiran global, khususnya terkait masalah di sektor perbankan AS.
Pelaku pasar terlihat waspada dan tetap mencermati dinamika eksternal yang memengaruhi sentimen investasi di kawasan Asia, termasuk Indonesia.
Baca JugaAurora Tech Award 2026 Dorong Perempuan Fintech Majukan Inklusi Keuangan
Pada hari Senin 20 Oktober 2025, rupiah tercatat menguat sebesar 17 poin atau 0,10 persen menjadi Rp 16.573 per dolar AS. Sebelumnya, pada penutupan akhir pekan lalu, nilai tukar berada di posisi Rp 16.590 per dolar AS.
Penguatan rupiah ini dinilai sebagai respons terhadap membaiknya sentimen pasar global, terutama setelah munculnya kabar terkait kondisi perbankan Amerika Serikat yang sempat mengguncang pasar finansial dunia.
Sejumlah analis memperkirakan, jika sentimen positif ini terus terjaga, maka rupiah memiliki peluang untuk bertahan dalam tren penguatan, meskipun dalam rentang yang terbatas.
Pasar Merespons Sentimen dari AS
Lukman Leong, analis mata uang dari Doo Financial Futures, menjelaskan bahwa salah satu pendorong utama penguatan rupiah saat ini adalah meredanya kecemasan terhadap sektor keuangan AS.
“Rupiah diperkirakan akan menguat terhadap dolar seiring membaiknya sentimen pasar dengan meredanya kekhawatiran di sektor perbankan AS,” ujar Lukman.
Sebelumnya, pasar sempat diguncang oleh kebangkrutan dua perusahaan besar yang berkaitan dengan industri otomotif dan sektor pembiayaan berbasis teknologi.
First Brands Group dan Tricolor Holdings merupakan dua entitas yang mengalami kegagalan finansial, dan dampaknya menyebar ke sejumlah institusi keuangan besar di AS, termasuk JP Morgan, Bank of America, dan Jefferies.
Imbas Kebangkrutan First Brands dan Tricolor Holdings
Kebangkrutan yang menimpa First Brands dan Tricolor Holdings memicu kekhawatiran luas di kalangan investor. First Brands dikenal sebagai perusahaan pemasok suku cadang otomotif global.
Sementara Tricolor Holdings merupakan perusahaan yang bergerak dalam sektor pembiayaan mobil bekas berbasis teknologi finansial serta menggunakan sistem kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI).
Kedua perusahaan ini beroperasi di sektor yang sensitif terhadap pergerakan suku bunga dan kondisi kredit.
Ketika likuiditas mengetat dan standar pinjaman dianggap terlalu longgar, risiko gagal bayar meningkat. Inilah yang menjadi sumber kekhawatiran di pasar global, karena kondisi serupa bisa saja menular ke institusi keuangan lainnya.
Khususnya, Tricolor yang mengandalkan skema pembiayaan teknologi dianggap rentan terhadap volatilitas pasar.
Sementara itu, kegagalan First Brands menunjukkan tekanan dalam rantai pasok otomotif global, yang sebelumnya juga terdampak oleh fluktuasi harga energi dan biaya produksi yang meningkat.
Masalah Kredit Swasta dan Transparansi
Yang menjadi perhatian utama dalam kasus ini adalah standar pinjaman yang longgar di sektor kredit swasta, khususnya yang tidak memiliki transparansi tinggi. Ketika perusahaan-perusahaan seperti Tricolor tidak diawasi secara ketat, potensi gelembung kredit menjadi besar.
Investor kini mulai menilai ulang eksposur mereka terhadap aset-aset serupa, dan ini menciptakan tekanan pada pasar keuangan global.
Meski demikian, kondisi ini justru memberi peluang bagi mata uang negara berkembang seperti rupiah untuk menguat, karena investor mencari alternatif investasi di luar pasar AS.
Bank Indonesia dan Potensi Pemangkasan Suku Bunga
Walaupun penguatan rupiah terlihat positif, analis juga mengingatkan bahwa ruang apresiasi rupiah masih terbatas.
Salah satu faktor penahan penguatan lebih lanjut adalah antisipasi pasar terhadap kemungkinan kebijakan moneter dari Bank Indonesia (BI) yang akan diumumkan dalam waktu dekat.
“BI diperkirakan akan memangkas suku bunga dalam usaha mendukung dan sejalan dengan program stimulus ekonomi pemerintah,” jelas Lukman.
Langkah pemangkasan suku bunga ini diperkirakan sebagai bagian dari strategi pemerintah untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun, keputusan ini juga dapat berimplikasi pada daya tarik investasi dalam aset rupiah. Bila suku bunga diturunkan, maka imbal hasil aset dalam negeri juga berpotensi menurun, yang bisa menekan nilai tukar.
Proyeksi Pergerakan Nilai Tukar
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor eksternal dan domestik, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diperkirakan akan bergerak dalam kisaran Rp 16.500 hingga Rp 16.650 per dolar AS dalam waktu dekat.
Rentang ini mencerminkan kondisi yang masih belum stabil sepenuhnya, meskipun ada sinyal perbaikan. Penguatan terbatas ini juga menunjukkan bahwa pelaku pasar tetap berhati-hati terhadap risiko global, termasuk perkembangan ekonomi AS serta keputusan bank sentral baik di dalam maupun luar negeri.
Meski hanya menguat tipis, rupiah menunjukkan ketahanan terhadap tekanan eksternal, terutama dari gejolak sektor perbankan AS. Namun, potensi pemangkasan suku bunga oleh BI bisa menjadi faktor pembatas.
Untuk itu, investor perlu mencermati dinamika global dan arah kebijakan moneter nasional sebelum mengambil keputusan.

Sindi
indikatorbisnis.com adalah media online yang menyajikan berita sektor bisnis dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Produk Unitlink Zurich Life Tunjukkan Potensi Tumbuh Berkelanjutan
- Selasa, 21 Oktober 2025
Berita Lainnya
Harga Perak Rp27.700–Rp28.000, Tren Stabil Menarik Minat Investor Jangka Menengah
- Selasa, 21 Oktober 2025
Harga Emas Perhiasan di Indonesia Oktober 2025: Tren, Tips, dan Perbandingan
- Selasa, 21 Oktober 2025