Pertukaran Data Elektronik Didorong Jadi Senjata Utama Memberantas Impor Ilegal Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:34:53 WIB
Pertukaran Data Elektronik Didorong Jadi Senjata Utama Memberantas Impor Ilegal Indonesia

JAKARTA - Upaya mempersempit ruang gerak pelaku impor ilegal kembali menjadi fokus pemerintah melalui strategi digitalisasi yang lebih kuat. Lembaga National Single Window (LNSW) meyakini bahwa transformasi menuju pertukaran data elektronik lintas negara akan menjadi titik balik dalam mencegah manipulasi dokumen yang selama ini merugikan negara.

Dalam pandangan LNSW, penggunaan dokumen fisik menjadi salah satu celah paling besar dalam praktik pemalsuan data. Sistem berbasis kertas kerap membuka peluang bagi pihak tidak bertanggung jawab untuk memodifikasi informasi penting terkait barang impor.

Kepala LNSW Oza Olavia mengungkapkan bahwa kelemahan pada sistem manual telah terbukti memicu berbagai penyimpangan. Ia menilai praktik manipulasi sering dilakukan mulai dari pengubahan jenis barang hingga rekayasa jumlah kuota impor yang tidak sesuai dengan data asli.

Dalam media briefing di Jakarta pada Kamis, 4 Desember 2025, Oza menegaskan bahwa pertukaran data elektronik di tingkat internasional mampu menutup celah-celah tersebut. “Pertukaran data internasional itu bisa mencegah barang ilegal? Sebenarnya sangat bisa,” ungkapnya.

Ia menjelaskan bahwa dokumen hardcopy yang dikirim secara manual memiliki risiko besar untuk diubah oleh oknum tertentu. “Yang harusnya A diganti B, ada penipuan penyalahgunaan jumlah, jenis, bisa saja ditukar,” lanjutnya dalam sesi pemaparan tersebut.

Oza bahkan menuturkan bahwa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memiliki riwayat menemukan berbagai kasus pemalsuan dokumen fisik. Banyak dokumen yang tampak asli ternyata telah dimodifikasi datanya sebelum sampai ke petugas.

Karena itu, LNSW menilai mekanisme Electronic Certificate of Origin (e-COO) atau Surat Keterangan Asal elektronik (e-SKA) menjadi solusi paling efektif. Sistem ini memastikan bahwa data dikirim langsung oleh otoritas negara pengekspor dan bukan oleh pemilik barang.

Menurut Oza, mekanisme tersebut membuat perubahan data menjadi hampir mustahil dilakukan. “Dengan e-COO, minimal orang tidak bisa mengubah data, karena yang mengirimkan adalah pihak yang berwenang,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa semakin banyak data yang dipertukarkan secara elektronik, semakin kecil kemungkinan manipulasi bisa terjadi. Pengawasan yang lebih ketat ini diyakini menjadi langkah strategis untuk mengamankan kegiatan ekspor-impor nasional.

Selain faktor keamanan, LNSW menegaskan bahwa digitalisasi memberikan keuntungan signifikan dari sisi efisiensi waktu. Pertukaran dokumen melalui jaringan elektronik memangkas proses yang sebelumnya memerlukan durasi panjang melalui jalur pengiriman fisik.

Berdasarkan data LNSW, rata-rata waktu pengiriman dokumen e-ATIGA pada 2024 hanya 12,1 menit. Angka ini menunjukkan efisiensi yang sangat tinggi dibandingkan metode konvensional yang memerlukan proses kurir.

Jika dibandingkan, pengiriman dokumen fisik dari Indonesia ke Singapura melalui pos atau ekspedisi bisa memakan waktu hingga 19 jam. Perbedaan ini memperlihatkan bagaimana digitalisasi mampu mempercepat proses kepabeanan secara signifikan.

Secara lebih rinci, LNSW mencatat negara dengan waktu pertukaran data tercepat berada pada rentang 1 hingga 8 menit. Brunei dan Kamboja berada di posisi teratas dengan kecepatan hanya 1 menit.

Laos tercatat membutuhkan waktu 1,2 menit untuk menyelesaikan pertukaran dokumen elektronik. Adapun Malaysia memerlukan sekitar 3,3 menit untuk mengirimkan data tersebut.

Singapura sebagai salah satu mitra dagang utama Indonesia berada pada kisaran waktu 4,5 menit. Myanmar mencatatkan rata-rata 6 menit untuk proses serupa.

Vietnam memiliki waktu pertukaran data sebesar 7,9 menit yang masih dianggap cukup efisien di tingkat kawasan. Sementara itu, Thailand menjadi negara dengan durasi terlama yaitu 14,2 menit.

Oza menjelaskan bahwa seluruh proses pertukaran data ini telah mencakup berbagai jenis dokumen perdagangan internasional. Integrasi tersebut meliputi e-Form D ATIGA untuk negara-negara Asean dan e-Form E untuk kerja sama Indonesia-China.

Selain itu, sistem juga telah mencakup e-Form IJEPA yang menjadi bagian dari perjanjian Indonesia-Jepang. Tidak ketinggalan, Indonesia-Korea Selatan telah terhubung dengan sistem melalui e-Form AK.

LNSW menilai perluasan cakupan kerja sama elektronik tersebut akan memperkuat sistem perdagangan internasional Indonesia. Kolaborasi ini diharapkan dapat memberikan keamanan sekaligus kecepatan proses impor yang lebih terukur.

Transformasi digital ini juga dianggap mampu menghemat biaya logistik karena mengurangi ketergantungan pada pengiriman fisik. Pengurangan penggunaan dokumen hardcopy turut menjadi langkah efisiensi yang relevan dalam perdagangan modern.

Dengan digitalisasi dokumen, proses berlapis yang sebelumnya memerlukan validasi manual dapat disederhanakan. Hal tersebut sekaligus mengurangi beban administratif yang sering menjadi hambatan bagi pelaku usaha.

Oza menilai bahwa penguatan sistem elektronik merupakan bagian dari visi jangka panjang pemerintah untuk modernisasi layanan kepabeanan. Ia menekankan bahwa setiap upaya digitalisasi bukan hanya mempercepat proses tetapi juga memperbaiki integritas data.

Implikasinya, peluang bagi pelaku impor ilegal untuk melakukan tindakan curang semakin kecil. Sistem elektronik menutup sepenuhnya ruang untuk memodifikasi data yang bersifat krusial bagi proses masuknya barang.

Integrasi lintas negara juga memberikan kepastian dalam identifikasi barang yang dikirim. Informasi yang dikirim langsung oleh otoritas negara asal menjadi jaminan utama autentikasi data.

Dengan begitu, setiap dokumen impor yang masuk ke Indonesia dapat dipertanggungjawabkan dengan akurat. Oza menegaskan bahwa upaya ini menjadi langkah besar dalam memperkuat reputasi perdagangan nasional.

Menurutnya, semakin banyak negara yang terhubung dalam sistem elektronik, semakin kokoh benteng pengawasan yang dimiliki Indonesia. Hal ini sekaligus memberikan sinyal tegas bahwa pemerintah serius memberantas impor ilegal.

Transformasi menuju pertukaran data digital juga memperkuat kerja sama internasional dalam menjaga kelancaran perdagangan global. Integrasi elektronik memberi fondasi baru bagi efektivitas kepabeanan di era teknologi.

Di tengah era digital yang semakin maju, LNSW menilai sudah tidak relevan jika perdagangan internasional masih mengandalkan dokumen fisik. Modernisasi prosedur menjadi kebutuhan mutlak demi menjaga keamanan sekaligus efisiensi.

Upaya ini juga memberikan manfaat bagi dunia usaha karena mempersingkat waktu proses administrasi. Dengan demikian, barang dapat masuk lebih cepat dan rantai pasok dapat bergerak lebih efisien.

Secara tidak langsung, efisiensi tersebut dapat menurunkan biaya operasional perusahaan. Hal ini membuka peluang bagi pelaku usaha untuk meningkatkan daya saing di pasar global.

Pada akhirnya, transformasi pertukaran data elektronik bukan sekadar modernisasi teknologi. Langkah ini juga menjadi bentuk komitmen pemerintah dalam menjaga integritas perdagangan nasional dari praktik ilegal.

Langkah tersebut sekaligus mempertegas bahwa keamanan data menjadi prioritas utama di tengah perkembangan perdagangan digital. Oza menekankan bahwa sistem elektronik akan terus diperluas hingga mencakup lebih banyak negara mitra.

Dengan begitu, Indonesia diharapkan memiliki sistem pertukaran data yang semakin komprehensif. LNSW menargetkan bahwa digitalisasi penuh akan menjadi standar tunggal di seluruh proses perdagangan internasional.

Terkini