JAKARTA - Industri emas di Indonesia tengah berada di puncak momentum. Sejak awal tahun, saham-saham logam mulia di Bursa Efek Indonesia (BEI) menjadi incaran investor, didorong oleh tren kenaikan harga emas dunia yang mencapai 58,15% dalam setahun terakhir.
Menurut laman Gold Price, reli harga emas ini tak lepas dari meningkatnya ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed serta ketidakpastian geopolitik dan ekonomi global.
Dalam situasi tersebut, emas kembali menjadi primadona karena statusnya sebagai aset lindung nilai (safe haven) yang aman di tengah turbulensi pasar. Namun, di balik euforia harga emas, para emiten di sektor ini memiliki pendekatan bisnis yang berbeda-beda.
Berdasarkan laporan Stockbit, perusahaan-perusahaan emas di BEI terbagi menjadi dua model utama: pertambangan emas dan perdagangan emas, masing-masing dengan karakteristik serta tantangan tersendiri.
Dua Model Bisnis Utama: Pertambangan vs Perdagangan
Model bisnis pertambangan berfokus pada eksplorasi dan produksi bijih emas (gold ore) maupun dore (batangan berkadar emas 10–30%).
Keuntungan perusahaan dalam kategori ini sangat bergantung pada fluktuasi harga emas dunia. Saat harga naik, profit melonjak; namun saat turun, margin bisa tertekan.
Sebaliknya, model bisnis perdagangan emas lebih berfokus pada pemurnian (refinery) dan pabrikasi menjadi produk akhir seperti perhiasan atau minted bar.
Laba dari jenis usaha ini lebih ditentukan oleh volume transaksi dan selisih harga jual-beli (spread). Artinya, kestabilan pasar dan permintaan domestik menjadi faktor utama dalam menentukan kinerja keuangan.
Peta Bisnis 12 Emiten Emas di Bursa Efek Indonesia
Laporan Stockbit memetakan 12 perusahaan di BEI yang memiliki bisnis atau konsesi tambang emas, tersebar di empat tahap pengembangan.
Tahap eksplorasi diisi oleh dua pemain: PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk (CUAN) milik konglomerat Prajogo Pangestu melalui proyek Intam, serta PT Darma Henwa Tbk (DEWA) lewat proyek Gayo Mineral Resources.
Tahap konstruksi tambang melibatkan PT Indika Energy Tbk (INDY) dengan proyek Awak Mas dan PT Merdeka Gold Resources Tbk (EMAS) melalui proyek Pani.
Selanjutnya, tahap produksi emas dore diisi oleh enam emiten besar:
PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS)
PT J Resources Asia Pasifik Tbk (PSAB)
PT Archi Indonesia Tbk (ARCI)
PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA)
PT United Tractors Tbk (UNTR)
PT Aneka Tambang Tbk (ANTM)
Sementara itu, produksi emas dari tambang tembaga digarap oleh dua raksasa, yakni PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) dan PT Freeport Indonesia.
Dari seluruhnya, tiga perusahaan — BRMS, PSAB, dan ARCI — tergolong pure-play gold miners yang sepenuhnya berfokus pada bisnis emas. Sedangkan MDKA, UNTR, dan ANTM mengelola emas sebagai bagian dari portofolio bisnis yang lebih luas.
Prediksi Kinerja Produksi Emas 2025–2026
Tim riset Stockbit memperkirakan produksi emas nasional akan meningkat tajam dalam dua tahun ke depan, ditopang oleh proyek-proyek baru dan pemulihan kapasitas tambang yang sempat tertunda. Berikut proyeksinya:
BRMS: fasilitas heap leach di CPM akan beroperasi pada kuartal III/2025.
ARCI: pemulihan pit Araren akan meningkatkan kapasitas produksi.
MDKA & EMAS: fasilitas heap leach di proyek Pani siap beroperasi penuh pada 2026.
UNTR: peningkatan produksi di tambang Sumbawa Jutaraya.
INDY: proyek Awak Mas ditargetkan berproduksi penuh pada 2026 dengan 100 ribu ons per tahun.
AMMN: produksi menurun sementara pada 2025 akibat transisi fase tambang Batu Hijau.
Freeport Indonesia: proyeksi produksi masih menunggu hasil akhir dari situasi force majeure di Grasberg.
Dari seluruh emiten tersebut, EMAS diprediksi mencatat lonjakan tertinggi pada 2026 — dari nol menjadi sekitar 79 ribu ons. Sementara BRMS berpotensi mencatat kenaikan terbesar di antara pure gold miners, dengan pertumbuhan produksi sekitar 16% year on year pada 2026.
Analis: Emas Masih Jadi Aset Favorit Dunia
Menurut analis pasar modal Hans Kwee, prospek bisnis emas masih cerah untuk jangka menengah hingga panjang. Ia menilai tren kenaikan harga global akan terus berlanjut, didorong oleh menurunnya kepercayaan investor terhadap dolar Amerika Serikat.
“Ada indikasi bahwa orang mulai tidak percaya lagi pada dolar AS. Sejak era Donald Trump, terjadi banyak perang dagang, dan kini dunia tengah menghadapi berbagai persoalan ekonomi yang belum membaik,” ujar Hans.
Hans menambahkan, tingginya utang global dan defisit fiskal di sejumlah negara besar menjadi pendorong utama meningkatnya minat terhadap emas. “Contohnya Prancis, yang menghadapi defisit besar dan demonstrasi akibat tekanan ekonomi,” katanya.
Arah Investasi Global Mulai Bergeser ke Emas dan Perak
Hans juga menyoroti tren kenaikan harga perak yang sering mengikuti pergerakan emas. Menurutnya, perubahan arah investasi global saat ini dipengaruhi oleh dinamika geopolitik dan pergeseran dominasi ekonomi dunia.
“Negara-negara seperti Cina dan Rusia kini aktif memperkuat cadangan emas mereka untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS,” tambahnya.
Dengan kondisi global yang penuh ketidakpastian, para emiten emas Indonesia dinilai berada pada posisi strategis untuk memetik manfaat dari kenaikan harga dan pergeseran arah investasi global.
Sektor Emas Tetap Berkilau di Tengah Guncangan Dunia
Tahun 2026 diperkirakan menjadi periode penting bagi sektor emas nasional.
Dengan dukungan harga yang tinggi, proyek-proyek baru yang mulai beroperasi, serta kepercayaan investor yang kian meningkat, emiten-emiten seperti BRMS, ARCI, MDKA, dan EMAS berpeluang besar menikmati lonjakan kinerja.
Jika tren global terus mengarah pada penguatan harga logam mulia, maka industri emas di Indonesia bukan hanya sekadar bertahan, melainkan siap menjadi motor pertumbuhan baru di pasar modal dan perekonomian nasional.