Bursa Asia Menguat, Investor Waspadai Dampak Perang Dagang AS-China

Jumat, 17 Oktober 2025 | 11:14:43 WIB
Bursa Asia Menguat, Investor Waspadai Dampak Perang Dagang AS-China

JAKARTA - Mayoritas bursa saham Asia mengakhiri perdagangan Kamis 16 Oktober 2025 dengan catatan positif, meskipun ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali meningkat. 

Para investor tampak menimbang ulang arah pasar, memilih fokus pada prospek laba korporasi di tengah dinamika geopolitik yang memanas.

Menurut data Bloomberg, indeks Topix Jepang ditutup naik 0,62% ke level 3.203,42, sementara S&P/ASX 200 Australia menguat 0,86% menjadi 9.068,40. Pasar saham Korea Selatan bahkan melonjak lebih tinggi, dengan indeks Kospi naik 2,49% ke level 3.748,37.

Di China, indeks Shanghai Composite turut meningkat 0,10% menjadi 3.916,23, menandai stabilitas di tengah tekanan ekonomi eksternal. Namun, indeks Hang Seng Hong Kong justru melemah tipis 0,09% ke 25.888,51, sedangkan indeks Straits Times Singapura turun 0,37% ke level 4.352,19.

Secara keseluruhan, indeks MSCI Asia naik 0,9%, ditopang oleh kenaikan saham-saham teknologi besar seperti ZTE Corp. dari China dan SK Hynix Inc. dari Korea Selatan. Penguatan ini mencerminkan optimisme investor terhadap sektor teknologi yang tetap kuat meski tensi perdagangan AS–China meningkat.

Investor Cermati Dinamika Geopolitik

Kenaikan di sebagian besar bursa Asia menunjukkan kepercayaan pelaku pasar terhadap daya tahan korporasi di kawasan ini. Namun, di sisi lain, investor tetap berhati-hati karena tensi dagang antara Washington dan Beijing kembali mencuat setelah beberapa bulan relatif stabil.

“Investor semakin terbiasa dengan dinamika politik yang naik turun. Selama hal itu tidak memengaruhi laba perusahaan, yang menjadi penggerak utama pasar berisiko, maka dampaknya terhadap pasar saham tidak akan besar,” ujar Fabiana Fedeli, Chief Investment Officer untuk ekuitas, multi-aset, dan keberlanjutan di M&G Investments.

Menurutnya, volatilitas politik belakangan ini justru menciptakan peluang bagi investor untuk masuk ke pasar saat harga sedang terkoreksi. Strategi ini umum dilakukan di tengah ketidakpastian global, terutama ketika fundamental ekonomi dan laba korporasi masih terjaga.

Ketegangan AS–China Kembali Meningkat

Pasar saham global sempat berfluktuasi tajam setelah Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa negaranya kini “terkunci” dalam perang dagang dengan China. 

Pernyataan ini sontak mengguncang sentimen investor, meskipun beberapa jam kemudian Menteri Keuangan AS Scott Bessent memberikan nada yang lebih menenangkan.

Bessent mengisyaratkan kemungkinan adanya gencatan dagang jangka panjang apabila China bersedia membatalkan rencana pembatasan ekspor logam tanah jarang (rare earth), komoditas vital dalam industri teknologi tinggi.

Sejak awal tahun, kedua negara telah beberapa kali menyepakati gencatan dagang 90 hari, dan batas waktu terbaru akan berakhir pada November 2025. Negosiasi ini diharapkan dapat meredakan tensi perdagangan yang berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi global.

Namun, pernyataan Trump yang cenderung keras kembali menimbulkan ketidakpastian di pasar. Bagi investor Asia, ketegangan antara dua ekonomi terbesar dunia itu menjadi faktor eksternal paling dominan yang dapat memengaruhi aliran modal dan kinerja ekspor kawasan.

The Fed dan Arah Kebijakan Moneter AS

Selain faktor geopolitik, perhatian investor juga tertuju pada kebijakan The Federal Reserve (The Fed). Pasar kini memperkirakan bank sentral AS tersebut akan memangkas suku bunga secara lebih agresif sebelum akhir tahun. Ekspektasi ini muncul setelah data ekonomi terbaru menunjukkan pelemahan di beberapa sektor industri.

Pemangkasan suku bunga di AS biasanya menjadi angin segar bagi pasar negara berkembang, termasuk Asia, karena dapat mendorong arus masuk modal asing dan memperkuat nilai tukar mata uang regional.

Pelaku pasar juga menilai bahwa langkah The Fed untuk menurunkan suku bunga akan menjaga momentum pertumbuhan korporasi AS sekaligus mendukung reli saham global yang telah berlangsung selama enam bulan terakhir.

Namun, sejumlah analis memperingatkan bahwa jika penurunan suku bunga dilakukan terlalu cepat tanpa diimbangi stabilitas geopolitik, maka pasar berpotensi menghadapi fase koreksi ringan.

Pasar Masuki Fase Konsolidasi

Menurut analis, kenaikan bursa Asia kali ini juga mencerminkan fase konsolidasi setelah reli panjang sejak paruh pertama 2025. 

Banyak investor memanfaatkan momentum koreksi jangka pendek untuk melakukan pembelian, terutama di saham-saham sektor teknologi dan komoditas yang dianggap memiliki prospek jangka menengah yang baik.

“Pasar tengah menyesuaikan diri dengan kombinasi antara ketegangan geopolitik dan ekspektasi pemangkasan suku bunga. Selama kondisi makroekonomi tidak memburuk, fase ini masih bisa menjadi peluang akumulasi,” ujar salah satu analis pasar Asia yang dikutip Bloomberg.

Sementara itu, saham-saham sektor energi dan manufaktur di beberapa bursa Asia juga mencatatkan rebound, seiring dengan stabilnya harga minyak dan meningkatnya permintaan ekspor intra-Asia.

Prospek Jangka Pendek Masih Positif

Secara keseluruhan, analis menilai prospek pasar Asia dalam jangka pendek masih cukup positif. Dukungan dari kebijakan moneter yang longgar dan optimisme terhadap pertumbuhan korporasi menjadi faktor utama yang menjaga kepercayaan investor.

Meski demikian, mereka tetap memperingatkan bahwa volatilitas masih akan tinggi selama isu perang dagang AS–China belum menemukan kejelasan.

Investor pun disarankan untuk lebih selektif dalam memilih saham, terutama pada sektor yang tahan terhadap fluktuasi global seperti teknologi, kesehatan, dan energi hijau.

Optimisme di pasar saham Asia menunjukkan bahwa pelaku pasar kini lebih matang dalam merespons gejolak geopolitik. Ketegangan yang dulunya langsung memicu kepanikan kini justru dipandang sebagai peluang strategis untuk memperkuat portofolio.

Dengan demikian, penguatan mayoritas bursa Asia pada Kamis 16 Oktober 2025 menjadi sinyal bahwa pasar kawasan masih memiliki daya tahan yang kuat — meski harus berjalan di tengah bayangan panjang perang dagang dua raksasa ekonomi dunia.

Terkini