JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan bahwa kebijakan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada sejumlah komoditas telah berakibat pada hilangnya pendapatan negara. Seiring dengan rencana kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025, pemerintah juga memberikan berbagai insentif dalam bentuk pembebasan PPN untuk beberapa barang dan jasa.
Contoh barang yang tidak dikenakan PPN antara lain kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, dan susu. Selain itu, jasa pendidikan, kesehatan, angkutan umum, serta jasa keuangan juga masuk dalam kategori bebas PPN.
Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, mengungkapkan bahwa kebijakan pembebasan PPN ini menyebabkan negara kehilangan pendapatan senilai Rp 265 triliun, yang tercatat sebagai belanja perpajakan. "Dalam kerangka pelaksanaan Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (HPP), kami memperkirakan belanja perpajakan, khususnya yang terkait PPN yang tidak dipungut, akan mencapai Rp 265 triliun pada 2025, meningkat dari sekitar Rp 230 triliun pada tahun ini," kata Suahasil saat konferensi pers di Gedung Djuanda, Jakarta Pusat.
Selain PPN, Suahasil juga menjelaskan bahwa ada sejumlah instrumen pajak lainnya yang turut mempengaruhi belanja perpajakan. Di antaranya adalah pajak penghasilan yang diperkirakan mencapai Rp 144,7 triliun dan pajak lainnya sebesar Rp 35,2 triliun.
Dengan demikian, total belanja perpajakan pada 2025 diproyeksikan mencapai Rp 445,5 triliun, atau setara dengan 1,83% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Sebagai perbandingan, pada tahun 2024, belanja perpajakan diperkirakan mencapai Rp 399,9 triliun, atau sekitar 1,77% dari PDB.
Dengan meningkatnya belanja perpajakan tersebut, pemerintah terus berupaya untuk menyeimbangkan kebijakan fiskal dengan insentif yang diberikan kepada masyarakat, guna mendorong perekonomian nasional.
(kkz/kkz)