JAKARTA - Di balik gemerlap panggung KPop, ada keputusan yang tak selalu ringan: melanjutkan konser saat bencana alam melanda. Keputusan ini sering menimbulkan dilema, baik bagi penyelenggara maupun penggemar.
Apakah hiburan seharusnya tetap berjalan, atau keselamatan penonton harus jadi prioritas utama? Cerita sejumlah konser berikut menyoroti bagaimana industri hiburan menanggapi kondisi ekstrem dengan cara yang kontroversial.
Gempa Tak Hentikan Konser Masterz x KROSS
Satu hari setelah gempa berkekuatan 7,6 magnitudo mengguncang Prefektur Ishikawa, Jepang, konser Masterz × KROSS tetap digelar di Nagoya. Artis seperti aespa, Enhypen, dan Park Seo Jun tampil di hadapan penonton, meski situasi masih memprihatinkan.
Penyelenggara mengumumkan keputusan untuk melanjutkan acara setelah pertimbangan matang. Dua pertunjukan digelar pukul 11.30 dan 18.30 waktu setempat.
Mereka menegaskan, “Seluruh staf sedang mempersiapkan acara dengan aman dan menantikan kehadiran kalian. Kami menyampaikan simpati terdalam untuk semua orang yang terdampak gempa ini. Saat ini kami sedang memperkuat sistem agar pelaksanaan acara tetap aman.”
Pihak penyelenggara menambahkan bahwa jika terjadi gempa di Prefektur Aichi, mereka akan mempertimbangkan penundaan atau pembatalan. Gempa di Ishikawa memaksa lebih dari 97.000 warga mengungsi, dan hingga pagi hari berikutnya, tercatat lebih dari 90 gempa susulan. Meski demikian, konser tetap berjalan, menimbulkan pertanyaan publik mengenai prioritas keselamatan.
Badai Tropis dan Konser Pramuka di Seoul
Di Korea Selatan, badai tropis Khanun memaksa evakuasi ribuan warga, merendam puluhan rumah, dan menjadikan jalanan seperti sungai berlumpur. Meski begitu, pemerintah tetap menggelar konser KPop besar di Seoul untuk 40.000 anggota Pramuka dunia yang kegiatan jamborenya terganggu cuaca. Konser ini menampilkan NewJeans dan IVE, digelar di stadion sepak bola yang masih basah akibat hujan deras.
Acara ini disiapkan cepat sebagai penutupan World Scout Jamboree. Pemerintah melakukan relokasi massal peserta jambore ke asrama universitas, pusat pelatihan, dan hotel, demi keamanan mereka.
Meski kondisi cuaca tidak ideal, konser tetap berlangsung dengan pengawasan ekstra. Keputusan ini menimbulkan perdebatan, apakah hiburan seharusnya didahulukan di tengah bencana alam yang masih membahayakan.
RIIZE di Hong Kong Saat Sinyal Badai Tertinggi
Kasus paling kontroversial datang dari Hong Kong. Saat Sinyal Badai No.10, level tertinggi peringatan cuaca ekstrem, dikeluarkan, konser RIIZE tetap dijadwalkan berlangsung. Pihak penyelenggara menyatakan jadwal dapat disesuaikan, tetapi keputusan itu membuat banyak fans frustrasi.
Beberapa komentar penggemar menegaskan risiko keselamatan, seperti: “Ini Sinyal No. 10, bukan 10 tetes hujan. Segera pastikan jadwal dan jangan tarik-ulur. Menunggu seperti ini sangat menyiksa.”
Bahkan pertanyaan mengenai perlindungan pemerintah muncul, menunjukkan kekhawatiran serius terhadap keselamatan penonton yang harus menempuh perjalanan panjang untuk menghadiri konser.
Keselamatan Tetap Harus Utama dalam Hiburan
Industri KPop selalu menawarkan hiburan dan kegembiraan, namun keputusan melanjutkan konser di tengah bencana alam memunculkan dilema etis. Gempa di Jepang, badai di Korea Selatan, dan sinyal badai di Hong Kong menunjukkan bahwa keselamatan manusia seharusnya lebih diutamakan daripada jadwal pertunjukan atau keuntungan finansial.
Para penyelenggara sering beralasan bahwa langkah mitigasi sudah dilakukan, mulai dari evakuasi darurat hingga penyesuaian jadwal. Meski demikian, publik dan fans menilai risiko masih terlalu tinggi. Konsistensi antara hiburan dan keselamatan memerlukan kebijakan yang lebih tegas, empati, dan kesiapan darurat yang jelas.
Bencana alam dan cuaca ekstrem tidak bisa diprediksi sepenuhnya, tetapi risiko bagi penonton, artis, dan staf harus menjadi pertimbangan utama. Setiap keputusan menyelenggarakan konser di tengah situasi berbahaya mengandung tanggung jawab moral yang besar.
Melalui kasus Masterz × KROSS, konser Pramuka di Seoul, dan RIIZE, terlihat bahwa industri hiburan di Asia tidak selalu sejalan dengan prioritas keselamatan publik. Meskipun hiburan penting, pengalaman ini menjadi pelajaran bahwa keselamatan harus menjadi bagian tak terpisahkan dari perencanaan acara, terutama di wilayah rawan bencana.
Kesimpulannya, konser KPop tetap bergema di tengah bencana alam, namun harga keputusan tersebut adalah protes publik dan potensi risiko tinggi bagi penonton. Dengan kesiapan, transparansi, dan pertimbangan keselamatan yang matang, industri hiburan bisa tetap menyenangkan tanpa mengorbankan nyawa.