JAKARTA - Pemberian tarif cukai rendah terhadap sigaret kretek tangan (SKT) menjadi sorotan sejumlah pihak, termasuk organisasi non-profit Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI). Dalam kebijakan cukai hasil tembakau (CHT), hanya SKT yang mendapat kenaikan tarif maksimal 5%, sementara sigaret putih mesin (SPM) dan sigaret kretek mesin (SKM) dikenai tarif lebih tinggi.
Kondisi ini menimbulkan dilema bagi industri rokok, terutama bagi emiten besar seperti PT Gudang Garam Tbk. (GGRM), yang kini tengah berupaya mendiversifikasi produk ke segmen SKT yang lebih murah.
Research Associate CISDI, Gea Melinda, menegaskan bahwa konsumsi SKT berdampak negatif terhadap kesehatan dan ekonomi negara. SKT mengandung campuran perisa rahasia yang membuat kadar nikotin dan tar lebih tinggi dibanding SPM maupun SKM.
“Dampaknya, risiko perokoknya terkena berbagai penyakit, seperti kanker paru-paru, juga semakin besar. Membiarkan SKT tetap murah sama artinya membiarkan masyarakat, khususnya kelompok miskin dan anak muda, lebih mudah terjerat adiksi rokok dan terpapar risiko kesehatan yang tinggi,” ujar Gea, dikutip Sabtu (20 September 2025).
Selain dampak kesehatan, harga terjangkau SKT memicu downtrading, yakni pergeseran konsumen ke produk lebih murah. Fenomena ini melemahkan efektivitas cukai sebagai instrumen pengendalian konsumsi tembakau sekaligus mengurangi penerimaan negara. Chief Research and Policy CISDI, Olivia Herlinda, menegaskan bahwa isu ketenagakerjaan selama ini kerap dibenturkan dengan isu kesehatan.
Menurut laporan Bank Dunia 2017, buruh linting SKT sebagian besar berstatus tidak tetap, dengan pendapatan rumah tangga yang bergantung pada SKT justru lebih rendah dibanding yang memiliki sumber penghasilan lain. “Perlakuan istimewa terhadap SKT untuk melindungi pekerja hanyalah ilusi,” kata Olivia.
CISDI menekankan bahwa negara hanya memerlukan 0,1% atau Rp14,3 miliar dari tambahan penerimaan cukai untuk mengamankan pendapatan pekerja SKT selama masa transisi. Sementara potensi tambahan penerimaan negara dari kenaikan tarif CHT bisa mencapai Rp10,9 triliun per tahun. Oleh karena itu, CISDI merekomendasikan pemerintah menyederhanakan struktur tarif CHT, menaikkan tarif dan harga jual eceran (HJE) rokok secara signifikan, serta menyiapkan strategi transisi bagi pekerja dan petani cengkeh melalui pelatihan, modal usaha, dan dukungan sosial.
Data historis menunjukkan tren pergeseran konsumen ke SKT. Pada 2020, cukai SKT hanya Rp5.466, sementara SKM Rp11.624. Pada 2024, cukai SKT naik tipis menjadi Rp6.623, sedangkan SKM melonjak ke Rp18.935. Harga murah SKT membuatnya menjadi “penyelamat” industri rokok ketika daya beli menurun. Pangsa pasar SKT dan Sigaret Klobot (SKL) meningkat dari 22,7% pada 2022 menjadi 31,1% pada 2024, sedangkan SKM HT dan LT menurun.
Dalam konteks ini, GGRM harus menyesuaikan strategi. Heru Budiman, Direktur & Corporate Secretary GGRM, menyampaikan bahwa perseroan tengah memperbesar varian produk SKT untuk memanfaatkan permintaan rokok lebih murah akibat kenaikan cukai. “Kami di tahun 2024 sampai sekarang masih dalam proses untuk memperbesar varian atau produk dalam segmen SKT sehingga kita juga bisa berpartisipasi pada demand yang timbul dari orang yang mencari rokok lebih murah,” ujar Heru.
Namun, kondisi pasar tetap menantang. Selama semester I/2025, GGRM mencatat penurunan pendapatan 11,30% YoY menjadi Rp44,37 triliun, dengan penurunan signifikan pada semua segmen: SKM turun 10,76% menjadi Rp39,74 triliun, SKT turun 19,54% menjadi Rp3,95 triliun, dan SKL turun 22,99% menjadi Rp4,19 miliar. Akibatnya, laba bersih semester I/2025 terpangkas tajam 87,34% YoY menjadi Rp117,16 miliar dibanding Rp925,52 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
Dilema ini menegaskan betapa strategi diversifikasi ke SKT menjadi kunci bagi GGRM dalam menghadapi kombinasi tekanan cukai tinggi dan menurunnya daya beli masyarakat. Walaupun SKT memberikan pangsa pasar yang relatif stabil, segmen ini juga menghadirkan risiko reputasi terkait kesehatan masyarakat.
CISDI menekankan bahwa pemerintah dapat menggunakan tambahan penerimaan cukai untuk mendukung pekerja dan petani cengkeh yang terdampak transisi, sehingga keberlanjutan sektor sekaligus kesehatan masyarakat tetap terjaga. Sementara itu, GGRM dihadapkan pada tantangan untuk menyeimbangkan strategi bisnis dan tanggung jawab sosial, agar tetap kompetitif di tengah kondisi fiskal yang ketat.
Dengan demikian, isu cukai SKT dan downtrading rokok menjadi titik sentral yang menentukan arah industri tembakau Indonesia, sekaligus menguji strategi adaptasi perusahaan besar seperti GGRM dalam menghadapi regulasi baru dan perubahan pola konsumsi masyarakat.