
JAKARTA - Presiden Prabowo Subianto memiliki visi ambisius untuk mempercepat transisi energi, termasuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) 100 GW. Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (Sustain) menilai tahun pertama pemerintahannya lebih banyak diisi pernyataan visi daripada implementasi nyata.
Tata Mustasya, Direktur Eksekutif Sustain, menegaskan, dalam empat tahun ke depan visi ini harus diterjemahkan menjadi kebijakan konkret. “Perlu ada kerja lintas Kementerian agar target energi surya dapat dicapai,” kata Tata pada Senin, 20 Oktober 2025.
Menurut Sustain, target 100 GW energi surya sangat mungkin dicapai. Setiap desa hanya memerlukan sekitar 1,5 hektare lahan yang bisa digunakan secara dual-purpose untuk agrovoltaic.
Baca Juga
Provinsi Kunci dan Pengurangan Subsidi Listrik
Tata menambahkan, setidaknya dua provinsi harus menjadi pusat energi surya dalam empat tahun ke depan. Langkah ini juga mendukung tujuan pemerintah menurunkan beban subsidi listrik yang meningkat 10,4% menjadi Rp75,8 triliun pada 2024, menurut Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.
Meski RUPTL PLN 2025-2034 menjadikan surya sebagai energi terbarukan utama, pengembangan 17,1 GW baru akan diakselerasi setelah 2029. Sustain menilai percepatan perlu dilakukan agar selaras dengan target 100 GW.
Tata mencontohkan keberhasilan industri mobil listrik (EV) yang tumbuh lebih cepat dari perkiraan berkat insentif yang tepat. “Dengan insentif, industri dan konsumen merespons lebih cepat, mempercepat transisi energi,” jelasnya.
Lima Kebijakan Kunci Percepatan PLTS
Sustain merekomendasikan lima kebijakan utama untuk mewujudkan PLTS 100 GW. Pertama, kebijakan dan insentif untuk membuat harga energi surya lebih murah dibanding batubara.
Pemerintah dapat mencontoh insentif PLTSa dalam Perpres 109/2025, seperti pembebasan denda, penyediaan lahan gratis, dan tarif pembelian listrik menarik sebesar USD 20 sen per kWh. Sinkronisasi dengan dokumen sektor energi seperti KEN, RUKN, dan RUPTL juga dianggap mutlak.
Kedua, pembagian peran yang jelas antara pemerintah pusat, daerah, dan antar kementerian. Ketiga, perbaikan tata kelola agar proyek nasional dapat berjalan lebih efektif dan transparan.
Keempat, pengembangan rantai pasok, termasuk industri panel surya dalam negeri. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja sekaligus mendukung kemandirian energi nasional.
Kelima, pendanaan inovatif dengan mencari sumber di luar APBN. Salah satunya adalah meningkatkan pungutan produksi batubara untuk menambah penerimaan negara.
Dampak Ekonomi dan Penyerapan Tenaga Kerja
Kajian Sustain memperkirakan, langkah pendanaan alternatif dapat menghasilkan tambahan penerimaan negara Rp84,55 triliun hingga Rp353,7 triliun per tahun. Dana ini bisa digunakan untuk memulai pembangunan PLTS 100 GW sekaligus menyerap tenaga kerja dalam jumlah signifikan.
Menurut RUPTL 2025-2034, proyek PLTS 17 GW saja diperkirakan mampu menciptakan 348.057 peluang kerja. Sustain menekankan, percepatan pembangunan surya tidak hanya soal energi, tetapi juga dorongan ekonomi dan sosial.
Implementasi kebijakan ini juga penting agar target energi terbarukan nasional dapat tercapai tepat waktu. Kerja sama lintas sektor akan memastikan proyek PLTS bisa berjalan efisien dan berkelanjutan.
Tata mengingatkan, kegagalan dalam implementasi dapat memperlambat transisi energi dan memperbesar beban subsidi listrik. Kebijakan konkret menjadi kunci agar ambisi 100 GW energi surya tidak berhenti pada wacana semata.
Selain itu, penguatan industri domestik akan mendukung stabilitas pasokan panel surya. Hal ini juga berkontribusi pada ketahanan energi nasional dan penciptaan lapangan kerja baru.
Sustain menekankan pentingnya koordinasi antara pemerintah, PLN, dan pengembang energi terbarukan. Dengan sinergi yang tepat, pembangunan PLTS dapat dilakukan lebih cepat dan hemat biaya.
Tata menambahkan, pengalaman internasional menunjukkan bahwa insentif dan kepastian investasi mempercepat adopsi teknologi baru. Indonesia dapat meniru strategi ini untuk mempercepat transisi energi surya.
Selain aspek ekonomi, pembangunan PLTS juga harus mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan. Model agrovoltaic yang diterapkan di desa-desa bisa menggabungkan produksi energi dan pertanian sekaligus.
Langkah konkret lain termasuk penetapan roadmap nasional untuk pembangunan PLTS dan target provinsi kunci. Roadmap ini akan memudahkan koordinasi lintas kementerian dan pengawasan proyek.
Akhirnya, Sustain menekankan, percepatan transisi energi adalah kesempatan strategis bagi Indonesia. Jika kebijakan dijalankan dengan tepat, negara dapat menjadi pemimpin energi surya di Asia Tenggara.

Nathasya Zallianty
indikatorbisnis.com adalah media online yang menyajikan berita sektor bisnis dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Tips Ampuh Menjaga Kulit Tetap Sehat dan Cerah di Cuaca Panas Indonesia
- Selasa, 21 Oktober 2025
Waspada! Konsumsi Ikan Berlebihan Bisa Picu Masalah Kesehatan Serius
- Selasa, 21 Oktober 2025
Makanan Kaya Protein Selain Telur yang Bisa Perkuat Tubuh dan Imunitas
- Selasa, 21 Oktober 2025
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
2.
Pinjaman Online Limit Besar, Coba 8 Aplikasi Resmi Ini
- 20 Oktober 2025
3.
Cara Bayar Adakami Lewat Dana: Panduan, Syarat dan Ketentuannya
- 20 Oktober 2025
4.
Simulasi Pinjaman Easycash, Tabel Pinjaman Sampai 20 Juta
- 20 Oktober 2025
5.
Bunga Kredit Pintar 2025: Tabel, Simulasi dan Panduan Pengajuan
- 20 Oktober 2025