
JAKARTA - Di tengah gempuran informasi digital yang tak pernah berhenti, banyak orang tanpa sadar menghabiskan waktu berjam-jam menyusuri lini masa penuh berita buruk. Kebiasaan ini dikenal dengan istilah doomscrolling, dan ternyata dapat berdampak serius pada kesehatan mental.
Fenomena doomscrolling terjadi ketika seseorang terus menerus mencari dan membaca berita bernada negatif, bahkan ketika informasi tersebut sudah menimbulkan kecemasan. Kebiasaan ini muncul bukan karena ingin sengaja menyakiti diri sendiri, tetapi sebagai upaya mempertahankan diri dari potensi ancaman.
Hal ini disampaikan oleh Psikolog Klinis Adela Witami yang menjelaskan bahwa, pada dasarnya, mencari tahu informasi negatif adalah bentuk perlindungan diri.
Baca Juga
Mengenal Alasan Psikologis di Balik Doomscrolling
Menurut Adela Witami, ada alasan alami yang membuat orang terdorong mencari berita buruk. Otak manusia memang bekerja dengan urutan tertentu. Ketika menerima informasi negatif, area amigdala dalam otak langsung aktif.
Amigdala adalah bagian otak yang memproses emosi, dan ia bereaksi jauh lebih cepat dibandingkan area lain yang mengatur logika, yaitu prefrontal cortex. Karena itu, ketika melihat berita buruk, tubuh secara otomatis bereaksi emosional terlebih dahulu.
Setelah itu, barulah bagian otak yang memproses logika mulai bekerja, menenangkan emosi, dan mencoba menilai situasi dengan lebih rasional.
Namun sayangnya, ketika paparan berita negatif terjadi secara terus menerus, emosi tidak sempat diredam. Sebaliknya, rasa takut dan cemas akan makin meningkat dan mengganggu kehidupan sehari-hari.
Dampak Kesehatan Mental yang Muncul
Adela menegaskan bahwa paparan berita negatif secara intens bisa memicu berbagai gangguan psikis. Salah satunya adalah kecemasan yang muncul karena ketakutan bahwa kejadian buruk di berita akan menimpa diri sendiri.
Jika kecemasan itu berlangsung dalam jangka panjang dan semakin parah, maka risiko terburuknya adalah trauma psikologis.
“Bisa mulai sulit kerja, bisa mulai sulit untuk bisa melakukan aktivitas dalam kehidupan, misalnya dalam komunikasi sosial dan lain-lain,” jelasnya.
Bahkan, kondisi ini bisa mengarah pada gangguan serius yang hanya dapat didiagnosis oleh klinisi. Paparan informasi negatif yang terus-menerus bisa berujung pada trauma.
Lonjakan Konsultasi Karena Stres dari Berita
Adela menceritakan, beberapa waktu lalu saat terjadi gelombang aksi demonstrasi dan kerusuhan yang cukup masif, banyak masyarakat yang terdampak secara psikologis. Kejadian tersebut disertai dengan penyebaran berita negatif yang sangat intens di berbagai media sosial.
Fenomena itu memicu lonjakan konsultasi psikologis dari masyarakat yang merasa kewalahan secara mental. Bersama komunitasnya, Adela membuka layanan konseling gratis untuk membantu masyarakat yang mengalami kecemasan.
Dalam dua hari pertama sejak layanan dibuka, sebanyak 160 warga datang untuk mencari bantuan profesional karena merasa sangat tertekan oleh paparan berita negatif yang tiada henti.
Keluhan yang Dialami Masyarakat
Adela menjelaskan bahwa keluhan yang disampaikan masyarakat cukup beragam. Mulai dari tangisan yang muncul tanpa sebab, ketegangan di bagian leher, hingga dada yang terasa sesak ketika membaca atau menonton berita.
“Misalnya dia jadi banyak menangis, terus kenapa rasanya tuh kayaknya tengkuknya tegang, dadanya sesak apabila melihat berita. Jadi banyak sekali keluhannya karena kondisi tempo hari,” ungkapnya.
Gejala fisik ini menunjukkan bahwa dampak doomscrolling tidak hanya bersifat emosional, tetapi juga bisa menyerang kondisi fisik secara langsung.
Membaca Berita Itu Perlu, Tapi Harus Teratur
Meski menyoroti bahayanya, Adela tidak melarang masyarakat mengakses berita, termasuk berita negatif. Baginya, informasi tetap penting untuk memperluas wawasan dan meningkatkan kewaspadaan.
Namun, perlu ada pengaturan waktu atau jadwal khusus dalam mengonsumsi berita agar tidak berlebihan dan tetap sehat secara mental.
Salah satu strategi yang disarankan adalah menerapkan jendela konsumsi berita. Misalnya, selama jam produktif antara pukul 08.00 hingga 18.00, seseorang tidak membuka atau membaca berita apapun.
Jendela konsumsi kemudian dibuka pada malam hari, cukup selama dua jam. Tujuannya agar tubuh dan pikiran tidak terus menerus terpapar berita negatif sepanjang hari.
Perlu Kesadaran Kolektif untuk Menghentikan Doomscrolling
Fenomena doomscrolling bukan hanya persoalan individu, tetapi juga menyangkut budaya informasi kita secara keseluruhan. Dengan arus berita yang terus mengalir di media sosial, masyarakat perlu lebih bijak dalam memilih konten yang dikonsumsi.
Kesadaran ini harus dibangun secara kolektif, baik oleh individu, komunitas, hingga media. Sebab, dampaknya tidak hanya merugikan secara emosional, tetapi juga bisa mengganggu produktivitas, hubungan sosial, dan bahkan keselamatan diri.
Adela juga mengingatkan bahwa kesehatan mental bukan sesuatu yang bisa disepelekan. Jika gejala sudah mulai mengganggu aktivitas, sebaiknya segera mencari bantuan profesional.

Zahra
indikatorbisnis.com adalah media online yang menyajikan berita sektor bisnis dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Menkeu Purbaya Fokus Kurangi Utang dan Dorong Pertumbuhan Pendapatan
- Rabu, 24 September 2025
Strategi Pertamina Gabungkan Subholding Hilir untuk Perkuat Keuangan
- Rabu, 24 September 2025
Berita Lainnya
Hasil Lengkap Coppa Italia 2025 2026: Daftar Tim Lolos Putaran Tiga
- Rabu, 24 September 2025
Terpopuler
1.
BMKG Prediksi Hujan Ringan dan Petir 24 September 2025
- 24 September 2025
2.
Jadwal Sholat Bandung dan Sekitarnya Hari Ini 24 September 2025
- 24 September 2025
3.
AKI 2025 Wujud Apresiasi Negara Bagi Pelaku Budaya
- 24 September 2025
4.
UEFA Proses Disipliner Simeone Usai Laga Liverpool Atletico
- 24 September 2025
5.
Guardiola Yakin Haaland Pulih Tepat Waktu Bela City
- 24 September 2025