JAKARTA - Rencana penerapan mandatori biodiesel 50% (B50) memunculkan kekhawatiran di kalangan pelaku usaha tambang.
Asosiasi pertambangan menilai kebijakan tersebut berpotensi menambah beban biaya operasional di tengah tren penurunan harga komoditas, sehingga mereka meminta pemerintah meninjau ulang penerapannya.
Permintaan Industri Tambang terhadap Pemerintah
Sejumlah asosiasi besar di sektor pertambangan, termasuk Indonesia Mining Association (IMA), Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo), serta beberapa lembaga profesi seperti PERHAPI, MGEI, dan PERTAABI, telah mengirimkan surat resmi kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Langkah tersebut merupakan bentuk permohonan agar pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan penerapan B50.
Direktur Eksekutif IMA Hendra Sinadia menjelaskan bahwa sebelum wacana B50 bergulir, kebijakan penggunaan biodiesel 40% (B40) yang diterapkan pada tahun ini saja telah menimbulkan tambahan biaya operasional yang cukup signifikan bagi perusahaan tambang.
Kondisi ini diperparah oleh tren harga komoditas mineral dan batubara yang tengah melemah.
Menurutnya, kenaikan kadar campuran biodiesel hingga 50% berpotensi memperbesar tekanan biaya bahan bakar, terutama bagi perusahaan yang beroperasi di wilayah terpencil dan bergantung pada logistik bahan bakar non-subsidi.
Respons Kementerian ESDM: Masalah Bukan pada Teknis
Menanggapi kekhawatiran tersebut, Kementerian ESDM menegaskan bahwa penerapan biodiesel di sektor tambang bukan menghadapi kendala teknis, melainkan lebih kepada aspek penanganan (handling) produk.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi menyampaikan bahwa pemerintah telah melakukan pengecekan harga biodiesel di berbagai wilayah, khususnya untuk industri non-PSO (non-Public Service Obligation).
Dari hasil evaluasi, sekitar 40% industri tambang berada di wilayah non-PSO yang menggunakan biodiesel tanpa subsidi pemerintah. Dalam konteks ini, Eniya menjelaskan bahwa permasalahan utama muncul karena karakteristik operasional di lapangan.
Banyak perusahaan tambang yang melakukan penyimpanan bahan bakar dalam jangka waktu lama, sehingga biodiesel yang ditimbun bisa menggumpal dan menurunkan kualitas bahan bakar.
Menurutnya, fenomena tersebut lebih berkaitan dengan proses distribusi dan penyimpanan, bukan karena keterbatasan teknis mesin atau performa alat berat di lapangan.
Dialog Lanjutan dan Kajian Kebijakan
Pemerintah membuka ruang diskusi dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pelaku tambang, industri otomotif, dan produsen alat mesin pertanian (alsintan), untuk merumuskan penerapan kebijakan biodiesel yang lebih realistis.
Eniya menegaskan bahwa Kementerian ESDM akan mengkaji kembali mekanisme implementasi B50 agar tidak mengganggu produktivitas sektor-sektor pengguna energi tersebut.
Salah satu opsi yang sedang dikaji adalah penerapan B50 secara bertahap. Pemerintah mempertimbangkan untuk lebih dulu memberlakukan kewajiban B50 bagi sektor PSO (Public Service Obligation), yang menerima subsidi energi dari pemerintah.
Sementara itu, untuk sektor non-PSO, tingkat campuran biodiesel bisa disesuaikan secara fleksibel tergantung kesiapan teknis dan kondisi ekonomi masing-masing industri.
Langkah ini diharapkan dapat menjaga keseimbangan antara target penurunan emisi karbon dan stabilitas biaya operasional di sektor strategis seperti pertambangan.
Tantangan Menuju Transisi Energi
Program mandatori biodiesel merupakan bagian dari upaya pemerintah dalam meningkatkan bauran energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak bumi.
Namun, dalam praktiknya, transisi energi berbasis sawit ini masih menghadapi tantangan di sektor industri padat energi seperti tambang.
Penggunaan biodiesel dengan kadar tinggi membutuhkan sistem penanganan bahan bakar yang lebih cermat, termasuk pengendalian suhu, rotasi stok, dan perawatan tangki penyimpanan.
Bagi perusahaan yang beroperasi di daerah dengan akses terbatas, tantangan logistik dan cuaca juga berpotensi memengaruhi efisiensi penggunaan biodiesel.
Selain itu, fluktuasi harga minyak sawit mentah (CPO) turut memengaruhi harga biodiesel di pasaran. Saat harga CPO naik, beban biaya bahan bakar non-subsidi otomatis meningkat, dan ini menjadi perhatian utama pelaku usaha tambang yang selama ini mengandalkan BBM solar untuk operasional alat berat.
Kebijakan mandatori B50 menjadi langkah strategis dalam agenda transisi energi nasional, namun perlu diimbangi dengan kesiapan infrastruktur, pengawasan mutu, dan mekanisme subsidi yang adil antara sektor PSO dan non-PSO.
Permintaan dari asosiasi tambang menunjukkan perlunya penyesuaian kebijakan agar transisi menuju energi hijau tidak justru menekan daya saing sektor industri ekstraktif.
Kementerian ESDM kini menegaskan komitmennya untuk menyeimbangkan antara kepentingan efisiensi energi, keberlanjutan lingkungan, dan daya saing ekonomi.
Dialog intensif antara pemerintah dan pelaku usaha diharapkan mampu menghasilkan kebijakan biodiesel yang adaptif, efektif, dan berkelanjutan bagi seluruh sektor pengguna.