Credit Scoring Kini Jadi Pertimbangan Rekrutmen Pegawai

Kamis, 02 Oktober 2025 | 14:35:22 WIB
Credit Scoring Kini Jadi Pertimbangan Rekrutmen Pegawai

JAKARTA - Perusahaan di Indonesia kini mulai mempertimbangkan riwayat kredit calon pegawai sebagai bagian dari proses rekrutmen, terutama bagi posisi yang bersentuhan langsung dengan keuangan perusahaan. Hal ini disampaikan oleh Aidil Akbar Madjid, Pendiri International Association of Registered Financial Consultants (IARFC) Indonesia, saat menjelaskan perkembangan tren rekrutmen yang menggabungkan aspek keuangan pribadi calon karyawan, Rabu (1 Oktober 2025) di Jakarta.

Menurut Aidil, penilaian perilaku keuangan calon pegawai dapat diperoleh melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK maupun layanan credit scoring dari perusahaan Pemeringkat Kredit Alternatif (PKA).

“Mau lamar kerja, sekarang itu udah banyak sekali perusahaan, khususnya multinational company, kalau mau kerja di sana, dicek SLIK. Tapi kan sekarang SLIK relatif cukup mahal. Nah, bisa jadi nanti perusahaan-perusahaan lokal mengeceknya ke credit scoring,” ujar Aidil.

Credit Scoring untuk Posisi Strategis

Aidil menekankan bahwa praktik ini terutama diterapkan untuk posisi yang berkaitan langsung dengan arus kas perusahaan, misalnya divisi akuntansi atau keuangan. “Kalau orangnya tidak disiplin secara pribadi, bagaimana dengan uang perusahaan? Bahkan bisa jadi potensi korupsi misalnya,” katanya.

Tujuan dari langkah ini adalah untuk meminimalkan risiko kerugian perusahaan yang muncul akibat ketidakdisiplinan finansial karyawan, sekaligus menjaga integritas dan tanggung jawab pegawai dalam pengelolaan dana perusahaan.

Praktik Internasional Sebagai Acuan

Praktik serupa telah lama diterapkan di negara-negara maju. Di Amerika Serikat, misalnya, riwayat kredit calon nasabah selalu diperiksa saat mengajukan pinjaman, menyewa apartemen, atau membeli perangkat elektronik secara cicilan. Skor kredit yang baik memungkinkan nasabah untuk menegosiasikan bunga pinjaman lebih rendah dan premi asuransi yang lebih ringan.

Di China, penilaian bahkan lebih luas dengan penerapan social scoring, yang mengevaluasi perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, pelanggaran aturan sederhana seperti menyeberang jalan tidak pada tempatnya dapat memengaruhi skor, sehingga membatasi akses mereka untuk mengajukan pinjaman karena dianggap individu yang tidak bertanggung jawab.

Aidil menilai, dengan perusahaan di Indonesia yang mulai mengecek skor kredit calon pegawai, negara ini kini mulai bergerak ke arah praktik serupa di Amerika Serikat dan China, yang memadukan riwayat keuangan dan perilaku individu sebagai indikator tanggung jawab dan risiko.

Implikasi bagi Generasi Muda

Aidil juga menyayangkan fenomena gagal bayar (galbay), baik pada pinjaman daring (pindar) maupun layanan paylater, yang marak di media sosial. Praktik tersebut, menurutnya, berdampak negatif terutama bagi generasi muda, Gen Z dan Milenial, karena dapat merusak catatan keuangan mereka di masa depan.

“Banyak sekali customer-nya dari pindar dan paylater yang merupakan generasi muda ya, Gen Z, generasi milenial, gitu ya, yang masih punya masa depan jauh sekali, lalu tiba-tiba semuanya berantakan gara-gara ini,” ungkapnya.

Tren Baru dalam Rekrutmen

Perubahan ini menandai tren baru dalam seleksi karyawan di Indonesia, di mana tidak hanya kompetensi profesional yang diperiksa, tetapi juga disiplin finansial dan perilaku pengelolaan uang pribadi calon pegawai.

Aidil mendorong perusahaan untuk memanfaatkan SLIK dan credit scoring secara lebih luas, sebagai instrumen formal yang dapat membantu mengurangi risiko kerugian internal dan memastikan calon pegawai yang direkrut memiliki tanggung jawab finansial yang baik.

Dengan demikian, perusahaan tidak hanya mendapatkan karyawan yang kompeten secara profesional, tetapi juga memiliki integritas dan kemampuan disiplin pribadi, yang berdampak positif bagi kestabilan keuangan internal dan operasional jangka panjang.

Terkini