JAKARTA - Kehadiran Presiden Prabowo Subianto di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 2025 menjadi sorotan publik. Tidak sekadar agenda kenegaraan, langkah ini menandai kembalinya Indonesia tampil di forum tertinggi PBB setelah satu dekade hanya diwakili oleh Menteri Luar Negeri. Lebih jauh, momen ini juga dipandang sebagai kelanjutan tradisi diplomasi Indonesia yang sudah terpatri sejak masa awal kemerdekaan.
Prabowo dijadwalkan menyampaikan pidato pada 23 September 2025, tepatnya pada urutan ketiga setelah Presiden Brasil dan Presiden Amerika Serikat. Menurut Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya, kesempatan ini sangat penting untuk menegaskan posisi Indonesia di mata dunia.
“Sidang Majelis Umum tahun ini menjadi momentum penting bagi Indonesia, tidak hanya untuk kembali tampil di level tertinggi pada forum PBB, namun juga untuk menegaskan posisi Indonesia sebagai pemimpin Global South yang konsisten menyuarakan agenda reformasi tata kelola dunia agar lebih adil dan inklusif,” ujar Teddy, Minggu (21 Septmber 2025).
Mengikuti Jejak Sang Ayah
Bagi sebagian kalangan, kehadiran Prabowo di forum internasional ini bukan hanya soal politik luar negeri, melainkan juga sarat makna historis.
Dino Patti Djalal, pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), menilai langkah Prabowo mengulang kiprah ayahandanya, Prof. Sumitro Djojohadikusumo, yang pernah memimpin delegasi Indonesia di PBB pada 1948–1949.
“Sebagaimana almarhum Prof. Sumitro, Presiden Prabowo dapat terus memperjuangkan upaya dunia untuk memperkokoh multilateralisme,” ujar Dino dalam keterangan pers Badan Komunikasi Pemerintah.
Sejarah mencatat, Sumitro pernah mengirim memorandum penting kepada pejabat Menteri Luar Negeri AS, Robert A. Lovett, yang kemudian dimuat The New York Times pada 21 Desember 1948. Memorandum tersebut mengecam agresi militer Belanda sebagai ancaman bagi ketertiban dunia sekaligus pelanggaran atas Perjanjian Renville.
Tak berhenti di situ, Sumitro juga menggalang solidaritas negara-negara Asia dalam konferensi di India, Januari 1949, hingga akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar.
Dengan latar sejarah ini, pidato Prabowo di New York dianggap sebagai simbol kesinambungan perjuangan diplomatik keluarga Djojohadikusumo di forum global.
Potensi Jadi Pidato Bersejarah
Pengamat hubungan internasional Teuku Rezasyah menilai pidato Presiden Prabowo berpotensi menjadi salah satu momen diplomasi yang akan dikenang dunia. Ia bahkan menyamakan peluang pidato itu dengan pidato bersejarah Presiden Soekarno pada 30 September 1960, yang dikenal sebagai “Memory of the World”.
“Pidato Presiden Prabowo Subianto pada Sidang Umum PBB tahun 2025 ini berpotensi menjadi kenangan dunia, atau ‘memory of the world’,” ujar Reza.
Ia menyebut pidato Prabowo akan memuat dimensi filosofis, konstitusional, hingga tradisi diplomatik Indonesia, sekaligus menjawab tantangan global masa kini. Menurut Reza, ada beberapa saripati yang penting untuk ditegaskan Presiden:
Pentingnya kerja sama lintas generasi antarperadaban untuk mengatasi persoalan dunia, mulai dari krisis ekonomi hingga ancaman nuklir.
Perlunya reformasi PBB agar lebih responsif terhadap masalah global, dengan memperkuat peran Sekretaris Jenderal serta Majelis Umum tanpa tersandera kepentingan negara besar tertentu.
Tema Pidato: Inklusivitas dan Solidaritas
Dari sisi pemerintah, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Vahd Nabyl Achmad Mulachela menjelaskan bahwa Prabowo akan menyoroti isu inklusivitas, solidaritas, serta pentingnya kerja sama multilateral.
“Rencananya, pidato Bapak Presiden akan menyoroti urgensi semangat inklusivitas, optimisme, solidaritas, dan kerja sama multilateral dalam menghadapi tantangan global masa kini,” ungkap Vahd.
Dengan garis besar itu, pidato Prabowo diharapkan tidak hanya mencerminkan aspirasi nasional, tetapi juga menjadi suara bagi negara-negara berkembang atau Global South yang ingin sistem tata kelola dunia lebih setara.
Agenda Lawatan Internasional
Kehadiran Prabowo di New York merupakan bagian dari rangkaian lawatan internasionalnya. Sebelum tiba di AS pada 21 September 2025, Presiden lebih dulu mengunjungi Osaka, Jepang, untuk meninjau Pavilion Indonesia di Osaka Expo.
Selepas Sidang PBB, agenda kenegaraan dilanjutkan ke Kanada, di mana Prabowo akan menyaksikan penandatanganan CEPA antara Indonesia dan Kanada. Setelah itu, ia akan melanjutkan perjalanan ke Belanda, dengan agenda pertemuan bersama Raja dan pejabat pemerintahan setempat. Presiden dijadwalkan kembali ke Indonesia pada 26–27 September 2025.
Momen Kembalinya Indonesia di Panggung Global
Kehadiran langsung Presiden di Sidang Umum PBB setelah sekian lama dipandang sebagai sinyal kuat bahwa Indonesia ingin kembali memainkan peran sentral di panggung internasional.
Bagi masyarakat global, kehadiran ini menunjukkan komitmen Indonesia untuk terlibat aktif dalam membangun tatanan dunia yang adil, inklusif, dan berlandaskan kerja sama multilateral.
Bagi rakyat Indonesia sendiri, momentum ini tidak hanya mengangkat citra diplomasi nasional, tetapi juga menghadirkan kebanggaan karena kepala negara tampil menyuarakan kepentingan bangsa di forum dunia.